Rukun Shalat (Kitab Shalat Bagian 10)





RUKUN SHALAT

1. Niat

Arti niat ada dua:

a. Asal makna niat "menyengaja" sesuatu perbuatan; dengan adanya sengaja ini, perbuatan dinamakan ikhtijari (kemauan sendiri bukan di paksa).
b. Niat pada syara' (yang menjadi rukun shalat dan ibadah yang lain-lain) yaitu:
Menyengaja suatu perbuatan, karena mengikuti perintah Allah agar supaya diridhaiNya; inilah yang dinamakan ikhlas. Maka orang yang shalat hendaklah ia sengaja mengerjakan shalat, karena mengikuti perintah Allah semata-mata agar mendapat keridhaanNya; begitu juga ibadah yang lain-lain.

Firman Allah SWT:
"Dan mereka tidak disuruh melainkan supaya menyembah Allah serta dengan ikhlas beragama kepadaNya, (beribadah menurut perintahNya). QS.Al Baiyinah:5".

Sabda Rasulullah SAW:
"Sesungguhnya segala amal itu hendaklah dengan niat. HR.Bukhari dan Muslim".

Sepakat madzhab empat, bahwa niat pada shalat lima waktu wajib, berarti niat itu tidak boleh tidak pada shalat lima waktu, hanya mereka berbeda faham tentang apakah niat itu rukun atau syarat?

Golongan Syafi'i dan Malik sefaham, bahwa niat itu menjadi rukun pada shalat lima waktu. Hanafiyah dan Hanabilah sepakat pula, bahwa niat itu menjadi syarat pada shalat lima waktu.

Alasan masing-masing:

Malikiyah, Syafi'iyah dan Hanabilah beralasan dengan ayat dan hadits tersebut diatas. Hanafiyah beralasan dengan ijma' ulama, karena yang dimaksud dengan ibadah tersebut dalam ayat diatas menurut tafsiran mereka, termasuk urusan tauhid (keTuhanan) bukan ibadah amaliyah seperti shalat dan mereka tafsirkan hadits tersebut diatas dengan mentaqdirkan tsawab (pahala), maka tafsir hadits tersebut menurut mereka, pahala amal hanya ada dengan adanya niat, bukan sahnya amal yang bergantung dengan niat, maka orang yang beramal dengan tidak berniat, amalnya sah, hanya tidak mendapat pahala. Apakah arti sah kalau tidak mendapat pahala? Mereka jawab, arti sah disini orang beramal tidak berniat, terlepas dari tuntutan walaupun ia tidak mendapat pahala.

Yang perlu dalam niat shalat yang lima waktu itu "sengaja mengerjakan shalat" supaya berbeda daripada perbuatan yang lain-lain dan "menentukan shalat yang dikerjakan" seperti Zuhur, 'Ashar, dan lain-lainnya dan "menyengaja atau meniatkan bahwa shalat itu fardhu", untuk cukupnya tiga perkara ini adalah gambaran niat shalat Zuhur umpamanya: "Sengajaku shalat fardhu Zuhur"; demikian juga yang lain-lain.

2. Berdiri bagi orang yang kuasa.

Adapun orang yang tidak kuasa berdiri ia boleh shalat duduk dan kalau tidak kuasa duduk ia boleh berbaring, dan kalau tidak kuas berbaring boleh menelentang, kalau tidak juga kuasa demikian, shalatlah sekuasanya, walau dengan isyarat sekalipun. Yang penting, shalat tidak boleh ditinggalkan selama iman masih ada. Orang yang diatas kendaraan kalau takut jatuh atau takut mabuk, ia boleh shalat duduk. Juga ia boleh percaya akan nasihat tabib/dokter yang mahir dan boleh dipercayai.

Sabda Rasulullah SAW:
"Berkata 'Amran bin Husban: Saya berpenyakit bewasir, maka saya bertanya kepada Nabi SAW tentang shalat, beliau berkata: Shalatlah berdiri, kalau tidak kuasa shalatlah duduk, kalau tidak kuasa shalat berbaring. Kalau tidak juga kuasa shalatlah menelentang. Allah tidak memberati seorang melainkan sekuasanya. HR.Bukhari dan Nasai".

Pada shalat fardhu diwajibkan (rukun) berdiri. Adapun pada shalat sunnah, berdiri itu, tidak menjadi rukun.

Sabda Rasulullah SAW:
"Barangsiapa shalat berdiri mendapat ganjaran yang sempurna; barangsiapa shalat duduk mendapat seperdua ganjaran orang yang shalat berdiri, barangsiapa shalat tidur mendapat ganjaran seperdua dari orang yang shalat duduk. HR.Bukhari".

Ganjaran duduk dan tidur itu kurang dari ganjaran berdiri, apabila dilakukan ketika kuasa, tetapi jika dilakukan karena berhalangan, ganjarannya tetap sempurna seperti shalat berdiri.

3.Takbiratul-Ihram (membaca "Allahu Akbar").

Sabda Rasulullah SAW:
"Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah SAW masuk ke dalam masjid, kemudian masuk pula seorang laki-laki, lalu dia mengerjakan shalat. Sesudah shalat, laki-laki itu datang pada Nabi dan memberi salam. Nabi menjawab salam laki-laki itu. Kemudian beliau berkata: Shalatlah kembali, karena engkau belum shalat. Laki-laki itu lalu shalat kembali seperti tadi juga dan sesudah itu ia memberi salam kepada Nabi dan Nabi berkata: Shalatlah kembali, karena engkau belum shalat. Hal itu berlaku sampai tiga kali. Laki-laki itu lalu berkata: Demi yang mengutus tuan membawa kebenaran, saya tidak dapat selain cara yang tadi. Sebab itu ajarlah saya. Sabda Nabi: Apabila engkau berdiri memulai shalat takbirlah! Sesudah itu bacalah mana yang engkau dapat membacanya dari Al-Qur'an, kemudian ruku'lah sehingga ada thuma'ninah (diam sebentar) dalam ruku' itu, dan bangkitlah sampai engkau berdiri lurus. Sesudah itu sujudlah, sampai engkau diam pula sejenak dalam sujud itu, kemudian bangkitlah dari sujud, sampai engkau diam pula sebentar dalam duduk itu, sesudah itu sujudlah kembali sampai engkau diam pula sebentar dalam sujud itu. Buatlah seperti itu dalam setiap shalatmu. HR.Sepakat Ahli Hadits dan pada riwayat Ibnu Majah, kemudian bangkitlah sehingga engkau diam pula sejenak pada berdiri itu. Hadits ini disebut Hadits Musiusshalah".

Sabda Rasulullah SAW:
"Kunci shalat itu wudhu, permulaannya takbir, dan penghabisannya salam. HR.Abu Daud dan Tirmidzi".

4. Membaca surat Al-Fatihah

Sabda Rasulullah SAW:
"Tiadalah shalat bagi seseorang yang tidak membaca surat Al-Fatihah. HR.Bukhari".

Sabda Rasulullah SAW:
"Tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca surat Al-Fatihah. HR.Daruquthni".

Sabda Rasulullah SAW:
"Bismillahir-rahmanir-rahim itu satu ayat dari surat Al-Fatihah. HR.Daruquthni".

Telah sepakat Imam MALIK, SYAFI'I, AHMAD bin HAMBAL dan jumhurul-ulama, bahwa membaca Al-Fatihah pada tiap-tiap raka'at shalat wajib dan menjadi rukun shalat, baik shalat fardhu atau shalat sunnah. Mereka beralasan dengan hadits-hadits tersebut diatas, Al-Hanafiah berpendapat; yang fardhu dibaca ialah Al-Qur'an, tidak tertentu pada Al-Fatihah saja; pendapat ini berdasarkan atas ayat Al-Qur'an.

Firman Allah SWT:
"Bacalah olehmu sesuatu yang mudah bagimu membacanya dari Al-Qur'an. QS.Al Muzammil:20".

Pihak pertama menjawab tentang pendapat ini, bahwa ayat tersebut mujmal (tidak jelas), surat atau ayat mana yang dimaksudkan mudah itu, maka hadits-hadits tersebut menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan mudah itu, ialah Al-Fatihah.

Ma'mum yang mendengar bacaan Imamnya

Apakah hukumnya membaca Al-Fatihah bagi ma'mum yang mendengar bacaan imamnya? Dalam hal ini ada beberapa pendapat yang timbul dari cara mereka memahami ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits seperti ini:

a. Firman Allah SWT:

"Apabila dibaca orang Al-Qur'an, maka hendaklah kamu dengarkan dan perhatikan. QS.Al A'raf:204".

b. Hadits Bukhari dan Daruquthni yang tersebut diatas.

c. Hadits yang berikut:

Sabda Rasulullah SAW:
"Janganlah seseorang membaca Al-Qur'an apabila saya keraskan bacaanku, kecuali Ummul Qur'an (Al-Fatihah). HR.Daruquthni".

Ia berkata semua orang yang meriwayatkan hadits ini dapat dipercaya.

Sabda Rasulullah SAW:
"Berkata Rasulullah SAW: Saya dengar kamu membaca di belakang imam? Jawab kami yang hadir: Benar, kami membaca. Beliau berkata lagi: Janganlah kamu lakukan yang demikian, kecuali membaca Ummul Qur'an (Al-Fatihah) sesungguhnya orang yang tidak membaca Al-Fatihah itu tidaklah ia shalat namanya. HR.Abu Daud dan Tirmidzi".

Sebagian ulama berpendapat, bahwa membaca Al-Fatihah bagi ma'mum yang mendengar bacaan imamnya adalah termasuk rukun shalat, berarti apabila ia tidak membaca Al-Fatihah shalatnya tidak sah. Pendapat ini beralasan beberapa hadits yang tersebut diatas.

Cara mereka mengambil dalil dari hadits tersebut ialah mereka fahamkan hadits-hadits itu sebagai ketentuan terhadap ma'mum dan ayat tersebut diatas mereka pandang umum meliputi segala waktu dan terhadap tiap-tiap orang, baik yang sedang shalat atau orang yang diluar shalat.

Umum ayat tersebut mereka batasi dengan maksud hadits-hadits tersebut, artinya semua orang yang mendengar bacaan Qur'an wajib mendengarkan dan mempehatikan bacaan itu, kecuali orang yang sedang shalat maka ia tidaklah wajib mendengarkan dan memperhatikan bacaan Qur'an itu, karena ia sedang melakukan kewajiban yang lain ketika itu, yaitu membaca Al-Fatihah. Ketentuan kewajiban ini diambil mereka dari beberapa hadits tersebut, sebab memang sudah disefakati oleh semua golongan, bahwa hadits-hadits ialah untuk jalan memahami (menafsirkan) ayat Al-Qur'an karena Qur'an sebagai pokok, penjelasan diambil dari hadits-hadits Rasulullah SAW.

Sebagian ulama yang lain berpendapat, bahwa ma'mum yang mendengar bacaan imamnya tidak wajib bahkan tidak boleh membaca Al-Fatihah, mereka mengemukakan alasan dengan umum ayat tersebut, mereka tidak menghubungkan ayat dengan hadits-hadits tersebut karena menurut pendapat mereka derajat kekuatan hadits tersebut tidak sama dengan kekuatan ayat, maka menurut paham mereka, yang lebih kuat tidak dapat dikalahkan oleh yang kurang kuatnya. Atau dengan kata-kata lain, hadits yang tidak sampai ke derajat mutawat tidak boleh untuk menafsirkan atau mengurangi maksud ayat.

Orang yang tidak dapat membaca sebagian daripada Al-Fatihah hendaklah dibacanya sekadar yang dapat olehnya walau satu ayat sekalipun dan jika ia tidak dapat sama sekali hendaknya ia berdiri saja sekedar membaca Al-Fatihah itu.

Sabda Rasulullah SAW:
"Berkata Rasulullah SAW: Barang yang saya perintahkan kepada kamu hendaklah kamu kerjakan sekuasamu. HR.Sepakat Ahli Hadits".

Wajib atas tiap-tiap orang mukallaf belajar membaca surat Al-Fatihah sampai hafal dengan bacaan yang fasih menurut makhraj huruf Arab.

5. Ruku' serta tuma'ninah (berhenti).

Sabda Rasulullah SAW:
"Kemudian ruku'lah engkau hingga engkau berhenti seketika. HR.Bukhari dan Muslim".

Adapun ruku' sekurang-kurangnya bagi orang yang shalat berdiri, menunduk kira-kira dua tapak tangannya sampai ke lutut, sebaiknya, hendaklah menunduk betul-betul sampai datar (lurus) tulang punggung dengan lehernya (=90 derajat), serta meletakkan dua tapak tangan ke lutut. Sekurang-kurangnya ruku' untuk orang yang shalat duduk, hendaklah sampai bertentangan mukanya dengan lututnya, sebaiknya bertentangan mukanya dengan tempat sujud.

6. I'tidal serta tuma'ninah (berhenti).

Artinya berdiri betul kembali seperti pada ketika membaca Al-Fatihah.

Sabda Rasulullah SAW:
"Kemudian bangkitlah engkau sehingga berdiri betul kembali. HR.Bukhari dan Muslim".

7. Sujud dua kali serta tuma'ninah (berhenti).

Sabda Rasulullah SAW:
"Kemudian sujudlah engkau hingga berhenti seketika, kemudian bangkitlah engkau hingga berhenti seketika, kemudian sujudlah engkau hingga berhenti seketika. HR.Bukhari dan Muslim".

Sekurang-kurang sujud meletakkan dahi ke tempat sujud.

Sabda Rasulullah SAW:
"Apabila engkau sujud letakkanlah dahimu, dan janganlah engkau mencotok seperti cotok ayam. HR.Ibnu Hibban".

Sebagian ulama mengatakan, wajib sujud dengan tujuh anggota, dahi dan hidung, dua tapak tangan, dua lutut dan ujung jari kedua kaki.

Sabda Rasulullah SAW:
"Saya disuruh supaya sujud dengan tujuh tulang: dahi, dua tapak tangan, dua lutut, dan ujung kedua kaki. HR.Bukhari dan Muslim".

Keadaan sujud hendaklah menungkit, berarti pinggul lebih tinggi daripada kepala.

8. Duduk diantara dua sujud dan tuma'ninah (berhenti) diantaranya.

Alasannya:

Sabda Rasulullah SAW:
"Kemudian sujudlah engkau hingga berhenti seketika, kemudian bangkitlah engkau hingga berhenti seketika, kemudian sujudlah engkau hingga berhenti pula seketika. HR.Bukhari dan Muslim".

9. Duduk Akhir.

Untuk tasyahud akhir dan shalawat atas Nabi SAW dan atas keluarga beliau; keterangan amal Rasulullah SAW (beliau selalu duduk ketika membaca tasyahud dan shalawat).

10. Membaca tasyahud akhir.

Lafadz Tasyahud:
 "Attahiyyatu lillahi washshalawatu wathaiyibatu assalamu 'alaika ayyuhannabiyu warahmatullahi wabarakatuh assalamu 'alaina wa'alah 'ibadillahishshalihin asyhadu an-la ilaha illallah wa-asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa-rasuluhu".

Sabda Rasulullah SAW:
"Dari Ibnu Mas'ud berkata Rasulullah SAW: Apabila shalat salah seorang diantara kamu maka hendaklah ia membaca tasyahud: Sekalian bakti lidah dan badan pun harta, adalah kepunyaan Allah, mudah-mudahan turunlah sejahtera atasmu, hai Nabi, dan begitu juga rahmat Allah dan karuniaNya, mudah-mudahan dilimpahkan pula sejahtera atas kita sekalian dan atas hamba Allah yang saleh-saleh (baik-baik), aku menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan yang sebenar-benarnya melainkan Allah, dan aku menyaksikan bahwa Nabi Muhammad itu hambaNya dan pesuruhNya. Sambungan hadits: "Kemudian hendaklah ia memilih do'a yang dikehendakinya. HR.Bukhari dan Muslim".

Ada lafadz yang lain yang diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Daud dari Ibnu 'Abbas:

Sabda Rasulullah SAW:
"Attahiyatul-mubarakatu ashshalawatu aththayyibatu lillahi assalamu 'alaika aiyuhannabiyu wa-rahmatullahi wabarakatuh assalamu 'alaina wa-ala-'ibadillahisshalihin asyhadu-an-la-illaha-illallah wa-asyhadu-anna Muhammadan Rasulullah".

Salinannya hampir sama dengan yang diatas.

11. Membaca shalawat atas Nabi Muhammad SAW

Waktu membacanya ialah pada ketika duduk akhir sesudah membaca tasyahud akhir, adapun shalawat atas keluarga beliau. Menurut Syafi'i tidak wajib hanya sunnah saja.

Lafadz shalawat:
"Allahumma shalli 'ala Muhammad wa-'ala ali Muhammad kamashallaita 'ala ali ibrahim wa-barik 'ala Muhammad wa 'ala ali Muhammad kama barakta 'ala ali Ibrahim innaka Hamidun majid".

Sabda Rasulullah SAW:
"Daripada Ibnu Mas'ud telah datang kepada kami Rasulullah SAW maka berkata Basyir kepada beliau: Allah telah menyuruh kepada kami supaya kami membaca shalawat atas engkau, bagaimanakah cara kami membaca shalawat atas engkau? Jawab beliau katakanlah olehmu: Hai Tuhanku berilah rahmat atas Nabi Muhammad dan atas keluarganya sebagaimana Engkau telah memberi rahmat atas keluarga Nabi Ibrahim, dan berilah karunia atas Nabi Muhammad dan atas keluarga beliau sebagaimana Engkau telah memberi karunia atas keluarga Nabi Ibrahim sesungguhnya Engkaulah yang amat terpuji dan amat mulia. HR.Ahmad, Muslim An-Nasai dan Tirmidzi".

Sekurang-kurangnya shalawat:
"Allahumma shalli ala Muhammad wa-'ala-ali Muhammad. Hai Tuhanku berilah rahmat atas Muhammad dan keluarganya".

Sebagian ulama berpendapat. bahwa membaca shalawat pada duduk akhir sesudah membaca tasyahud akhir, tidaklah wajib. Hadits tersebut tidak memberikan ketentuan dalam shalat dan sesudah tasyahud akhir, yang dapat dipaham dari hadits tersebut hanya diluar shalat. Yang berpendapat wajib dalam shalat sesudah membaca tasyahud akhir mengemukakan alasan, bahwa pertanyaan yang dalam hadits tersebut menurut riwayat lain, adalah pertanyaan mengenai cara membaca shalawat dalam shalat.

Sabda Rasulullah SAW:
"Allah telah menyuruh kami supaya kami membaca shalawat atas engkau, bagaimanakah cara kami membaca shalawat atasmu, bila kami membaca shalawat atasmu dalam shalat kami? Jawab Rasulullah SAW katakanlah olehmu Allahumma... seterusnya seperti yang tersebut dalam hadits pertama tadi. HR.Ibnu Khuzaimah, Daruquthni dan Ibnu Hibban".

Maka dengan riwayat ini jelaslah, bahwa yang dipersoalkan ialah membaca shalawat dalam shalat.

Sabda Rasulullah SAW:
"Dari Ibnu Mas'ud dari Nabi SAW: Apabila salah seorang di antara kamu telah membaca tasyahud dalam shalat, maka hendaklah dibacanya Allahumma shalli'ala....(shalawat) dan sampai ke akhirnya. HR.Baihaqi dan Hakim".

12. Memberi salam yang pertama (ke kanan).

Sabda Rasulullah SAW:
"Pemulaan shalat itu takbir dan penghabisannya salam. HR.Abu Daud dan Tirmidzi".

Sabda Rasulullah SAW:
"Adalah Rasulullah SAW memberi salam hanya sekali pada shalat Witir. HR.Ibnu Hibban".

Lafadz salam sempurna:
"Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh".

Artinya:
"Mudah-mudahan selamatlah kamu dengan rahmat dan berkat Allah. HR.Abu Daud dan Ibnu Hibban".

Sekurang-kurangnya salam:
"Assalamu 'alaikum".

Artinya:
"Mudah-mudahan selamatlah kamu".

Sebagian ulama berpendapat bahwa memberi salam itu wajib dua kali, ke kanan dan ke kiri. Mereka mengambil alasan hadits berikut:

Sabda Rasulullah SAW:
"Dari Ibnu Mas'ud: Sesungguhnya Nabi SAW memberi salam ke kanan dan ke kiri, beliau mengucapkan: Assalamu 'alaikum warahmatullah, Assalamu 'alaikum Warahmatullah, sehingga kelihatan putih pipi beliau. HR.Lima Ahli Hadits dan disahkan oleh Tirmidzi".

Ulama yang pertama menjawab, bahwa salam kedua yang tersebut dalam hadits ini sunnah, bukan wajib. Dengan demikian kedua hadits yang seolah-olah berlawanan itu, dapat dipergunakan bersama-sama.

13. Menertibkan rukun.
Artinya meletakkan tiap-tiap rukun pada tempatnya menurut susunan yang tersebut diatas.

Sabda Rasulullah:
"Shalatlah kamu sebagaimana kamu lihat saya shalat. HR.Bukhari".
0 Komentar untuk "Rukun Shalat (Kitab Shalat Bagian 10)"

Silahkan Beri Komentar Pada Setiap Postingan Disini Karena Komentar Anda Sangat Berarti Demi Kepentingan Bersama dan Blog ini Tapi Alangkah Baik dan Indahnya Jika Berkomentar Dengan Adab dan Sopan Santun. Jika artikel ini bermanfaat, mohon bantu di share ya dan tolong bantu klik iklannya.

"Please, Don't SPAM"

Back To Top